Skandal Cinta Antara Aku Dan Anak Majikanku
Kisah ini bermula sejak 1 tahun yang lalu aku bekerja sebagai seorang
pembantu rumah tangga di keluarga Pak Rohim. Aku memang bukan seorang
yang makan ilmu bertumpuk, hanya lulusan SD. Tetapi karena niatku untuk bekerja memang sudah tidak bisa ditahan lagi,
akhirnya aku pergi ke kota Surabaya, dan beruntung bisa memperoleh
majikan yang baik dan bisa memperhatikan kesejahteraanku.
Sering
terkadang aku mendengar kisah tentang nasib beberapa orang pembantu
rumah tangga di kompleks perumahan. Ada yang pernah ditampar majikannya,
atau malah bekerja seperti seekor sapi perahan saja. Ibu Rohim pernah bilang bahwa beliau menerimaku menjadi pembantu rumah
tangganya lantaran usiaku yang relatif masih muda. Beliau tak tega
melihatku luntang-lantung di kota metropolis ini.
"Jangan-jangan kamu
nanti malah dijadikan wanita panggilan oleh para calo WTS yang tak
bertanggung jawab." Itulah yang diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan terkadang aku sadar bahwa aku memang
cantik, berbeda dengan para gadis desa asalku. Pantas saja jika Ibu
Rohim berkata begitu terhadapku. Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, yakni
tentang perlakuan Mas Agus terhadapku. Mas Agus adalah anak bungsu
keluarga Bapak Rohim. Dia masih kuliah di semester 6, sedangkan kedua
kakaknya telah berkeluarga. Mas Agus baik dan sopan terhadapku, hingga
aku jadi rikuh bila berada di dekatnya. Sepertinya ada sesuatu yang
bergetar di tubuhku.
Jika aku ke pasar, Mas Agus tak segan untuk
mengantarkanku. Bahkan ketika naik mobil aku tidak diperbolehkan duduk
di jok belakang, harus di sampingnya. Ahh.. Aku selalu jadi merasa tak
nikmat. Pernah suatu malam sekitar pukul 20.00, Mas Agus hendak membikin
mie instan di dapur, aku bergegas mengambil alih dengan alasan bahwa
yang dilakukannya pada dasarnya adalah tugas dan kewajibanku untuk bisa
melayani majikanku.
Tetapi yang terjadi Mas Agus justru berkata
kepadaku, "Nggak usah, Sari. Biar aku saja, agak apa-apa kok.."
"Nggak.. nggak apa-apa kok, Mas" jawabku tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba Mas Agus menyentuh pundakku. Dengan lirih dia berucap, "Kamu
sudah capek seharian bekerja, Sari. Tidurlah, besok kamu harus bangun
khan.."
Aku hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mas Agus kemudian
melanjutkan memasak. Namun aku tetap termangu di sudut dapur. Hingga
kembali Mas Agus menegurku.
"Sari, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti kalau kamu kecapekan dan
terus sakit, yang repot kan kita juga. Sudahlah, aku bisa masak sendiri
kalau hanya sekedar bikin mie seperti ini."
Belum juga habis ingatanku saat kami berdua sedang nonton televisi di
ruang tengah, sedangkan Bapak dan Ibu Rohim sedang tidak berada di
rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Agus memandangiku dengan lembut.
Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
"Kamu cantik, Sari."
Aku cuma tersipu dan berucap,
"Teman-teman Mas Agus di kampus kan lebih cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya dan pandai."
"Tapi kamu lain, Sari. Pernah tidak kamu membayangkan jika suatu saat
ada anak majikan mencintai pembantu rumah tangganya sendiri?"
"Ah.. Mas Agus ini ada-ada saja. Mana ada cerita seperti itu" jawabku.
"Kalau kenyataannya ada, bagaimana?"
"Iya.. nggak tahu deh, Mas."
Kata-katanya itu yang hingga saat ini membuatku selalu gelisah. Apa
benar yang dikatakan oleh Mas Agus bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia
anak majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan aku
cuma seorang pembantu rumah tangga? Ah, pertanyaan itu selalu terngiang
di benakku.
Tibalah aku memasuki bulan ke tujuh masa kerjaku. Sore ini cuaca memang
sedang hujan meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Agus memasuki garasi.
Kulihat pemuda ini berlari menuju teras rumah. Aku bergegas
menghampirinya dengan membawa handuk untuk menyeka tubuhnya.
"Bapak belum pulang?" tanyanya padaku.
"Belum, Mas."
"Ibu.. pergi..?"
"Ke rumah Bude Mami, begitu ibu bilang."
Mas Agus yang sedang duduk di sofa ruang tengah kulihat masih tak
berhenti menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku
yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat aku
hampir meninggalkan ruang tengah, kudengar Mas Agus memanggilku. Kembali
aku menghampirinya.
"Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman hangat, padahal aku tidak
menyuruhmu kan" ucap Mas Agus sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Sari, aku mau bilang bahwa aku menyukaimu."
"Maksud Mas Agus bagaimana?"
"Apa aku perlu jelaskan?" sahut Mas Agus padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan Mas Agus dengan jarak yang
sangat dekat, bahkan bisa dikatakan terlampau dekat. Mas Agus meraih
kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan sedikit tarikan yang
dilakukannya maka tubuhku telah dalam posisi sedikit terangkat merapat
di tubuhnya. Sudah pasti dan otomatis pula aku semakin dapat menikmati
wajah ganteng yang rada basah akibat guyuran hujan tadi. Demikian pula
Mas Agus yang semakin dapat pula menikmati wajah bulatku yang dihiasi
bundarnya bola mataku dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang
dengan dalam tanpa tahu rasa masing-masing dalam hati. Tiba-tiba entah
karena dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana bibir Mas
Agus menciumi setiap lekuk mukaku yang segera setelah sampai pada bagian
bibirku, aku membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan Mas
Agus merambah naik ke arah dadaku, pada bagian gumpalan dadaku tangannya
meremas lembut yang membuatku tanpa sadar mendesah dan bahkan menjerit
lembut.
Sampai disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan
nikmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku merasakan takut yang entah bagaimana
aku harus melawannya. Namun campuran rasa yang demikian ini segera
terhapus oleh rasa nikmat, aku terus
melayani dan membalas setiap ciuman bibirnya yang di arahkan pada
bibirku berikut setiap lekuk yang ada di dadaku dijilatinya. Aku semakin
tak kuat menahan rasa, aku menggelinjang kecil menahan desakan dan
gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu kancing baju yang kukenakan, sampailah
aku telanjang dada hingga buah dada yang begitu ranum menonjol dan
memperlihatkan diri pada Mas Agus. Semakin saja Mas Agus memainkan
bibirnya pada ujung buah dadaku, dikulumnya, diciuminya, bahkan ia
menggigitnya. Golak dan getaran yang tak pernah kurasa sebelumnya, aku
kini melayang, terbang, aku ingin menikmati langkah berikutnya, aku
merasakan sebuah kenikmatan tanpa batas untuk saat ini.
Aku telah mencoba untuk memerangi gejolak yang meletup bak gunung yang
akan memuntahkan isi kawahnya. Namun suara hujan yang kian menderas,
serta situasi rumah yang hanya tinggal kami berdua, serta bisik goda
yang aku tak tahu darimana datangnya, semua itu membuat kami berdua
semakin larut dalam permainan cinta ini. Pagutan dan rabaan Mas Agus ke
seluruh tubuhku, membuatku pasrah dalam rintihan kenikmatan yang
kurasakan.
Tangan Mas Agus mulai mereteli pakaian yang dikenakan, ia
telanjang bulat kini. Aku tak tahan lagi, segera ia menarik dengan keras
celana dalam yang kukenakan. Tangannya terus saja menggerayangi sekujur
tubuhku. Kemudian pada saat tertentu tangannya membimbing tanganku
untuk menuju tempat yang diharapkan, dibagian bawah tubuhnya. Mas
Agus terdengar merintih.
Buah dadaku yang mungil dan padat tak pernah lepas dari remasan tangan
Mas Agus. Sementara tubuhku yang telah telentang di bawah tubuh Mas
Agus menggeliat-liat seperti cacing kepanasan. Hingga lenguhan di antara
kami mulai terdengar sebagai tanda permainan ini telah usai. Keringat
ada di sana-sini sementara pakaian kami terlihat berserakan dimana-mana.
Ruang tengah ini menjadi begitu berantakan terlebih sofa tempat kami
bermain cinta denga penuh gejolak.
Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu Mas
Agus. Kami duduk di sofa, tempat kami tadi melakukan sebuah permainan
cinta, dengan rasa sesal yang masing-masing berkecamuk dalam hati.
"Aku
tidak akan mempermainkan kamu, Sari. Aku lakukan ini karena aku
mencintai kamu. Aku sungguh-sungguh, Sari. Kamu mau mencintaiku kan..?".
Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun. Mas Agus menyeka butiran air bening di sudut mataku, lalu mencium
pipiku. Seolah dia menyatakan bahwa hasrat hatinya padaku adalah
kejujuran cintanya, dan akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya.
Meski aku tetap bertanya dalam sesalku, "Mungkinkah Mas Agus akan
sanggup menikahiku yang hanya seorang pembantu rumah tangga?".
Sekitar pukul 19.30 malam, barulah rumah ini tak berbeda dengan
waktu-waktu kemarin. Bapak dan Ibu Rohim seperti biasanya tengah
menikmati tayangan acara televisi, dan Mas Agus mendekam di kamarnya.
Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa yang pernah terjadi di ruang
tengah itu.
Sejak permainan cinta yang penuh nafsu itu kulakukan dengan Mas Agus,
waktu yang berjalanpun tak terasa telah memaksa kami untuk terus bisa
mengulangi lagi nikmat dan indahnya permainan cinta tersebut. Dan yang
pasti aku menjadi seorang yang harus bisa menuruti kemauan nafsu yang
ada dalam diri. Tak peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di
dapur, asalkan keadaan rumah lagi sepi, kami selalu tenggelam hanyut
dalam permainan cinta denga gejolak nafsu birahi. Selalu saja setiap
kali aku membayangkan sebuah gaya dalam permainan cinta, tiba-tiba
nafsuku bergejolak ingin segera saja rasanya melakukan gaya yang sedang
melintas dalam benakku tersebut.
Kadang aku pun melakukannya sendiri di
kamar dengan membayangkan wajah Mas Agus. Bahkan ketika di rumah sedang
ada Ibu Rohim namun tiba-tiba nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi
dan memberi isyarat pada Mas Agus untuk menyusulnya. Untung kamar mandi
bagi pembantu di keluarga ini letaknya ada di belakang jauh dari
jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan penuh gejolak di
bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa sabun di sana-sini yang
rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas tentang
kenikmatan.
Walau setiap kali usai melakukan hal itu dengan Mas Agus, aku selalu
dihantui oleh sebuah pertanyaan yang itu-itu lagi dan dengan mudah
mengusik benakku: "Bagaimana jika aku hamil nanti? Bagaimana jika Mas
Agus malu mengakuinya, apakah keluarga Bapak Rohim mau merestui kami
berdua untuk menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu? Ataukah
aku bakal di usir dari rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh untuk
menggugurkan kandungan ini?" Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku
seolah gila dan ingin menjerit sekeras mungkin. Apalagi Mas Agus selama
ini hanya berucap: "Aku mencintaimu, Sari." Seribu juta kalipun kata itu
terlontar dari mulut Mas Agus, tidak akan berarti apa-apa jika Mas
Agus tetap diam tak berterus terang dengan keluarganya atas apa yang
telah terjadi dengan kami berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang selama ini kutakutkan, bahwa aku mulai
sering mual dan muntah, yah.. aku hamil! Mas Agus mulai gugup dan panik
atas kejadian ini.
"Kenapa kamu bisa hamil sih?".
Aku hanya diam tak menjawab.
"Bukankah aku sudah memberimu pil supaya kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot juga.."
"Kenapa mesti repot Mas? Bukankah Mas Agus sudah berjanji akan menikahi Sari?"
"Iya.. iya.. tapi tidak secepat ini Sari. Aku masih mencintaimu, dan aku pasti akan menikahimu. Tetapi bukan
sekarang. Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan Bapak dan Ibu
bahwa aku mencintaimu.."
Yah.. setiap kali aku mengeluh soal perutku yang kian bertambah usianya
dari hari ke hari dan berganti dengan minggu, Mas Agus selalu
kebingungan sendiri dan tak pernah mendapatkan jalan keluar. Aku jadi
semakin terpojok oleh kondisi dalam rahim yang tentunya kian membesar.
Genap pada usia tiga bulan kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk
melangkahkan kaki pergi dari rumah keluarga Bapak Rohim. Kutinggalkan
semua kenangan duka maupun suka yang selama ini kuperoleh di rumah ini.
Aku tidak akan menyalahkan Mas Agus. Ini semua salahku yang tak mampu
menjaga kekuatan dinding imanku. Subuh pagi ini aku meninggalkan rumah ini tanpa pamit, setelah kusiapkan
sarapan dan sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwa aku pergi
karena merasa bersalah terhadap keluarga Bapak Rohim.
Hampir setahun setelah kepergianku dari keluarga Bapak Rohim, Aku kini
telah menikmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya aku jalani,
namun aku bahagia. Hingga pada suatu pagi aku membaca surat pembaca di
tabloid terkenal. Surat itu isinya bahwa seorang pemuda Agus mencari dan
mengharapkan isterinya yang bernama Sari untuk segera pulang. Pemuda
itu tampak sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si calon isterinya
karena dia begitu mencintainya.
Aku tahu dan mengerti benar siapa calon isterinya. Namun aku sudah tidak
ingin lagi dan pula aku tidak pantas untuk berada di rumah itu lagi,
rumah tempat tinggal pemuda bernama Agus itu. Aku sudah tenggelam dalam
kubangan ini. Andai saja Mas Agus suka pergi ke lokalisasi, tentu dia
tidak perlu harus menulis surat pembaca itu. Mas Agus pasti akan
menemukan calon istrinya yang sangat dicintainya. Agar Mas Agus pun
mengerti bahwa hingga kini aku masih merindukan kehangatan cintanya.
Cinta yang pertama dan terakhir bagiku.